Pandangan Ulama tentang Syaddud Adzari’ah - Belajar Ekonomi

Mencari, Menggali dan Memberi.

Saturday, November 10, 2018

Pandangan Ulama tentang Syaddud Adzari’ah

Pandangan Ulama tentang Syaddud Adzari’ah

Pandangan Ulama tentang Syaddud Adzari’ah

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi  (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[1]

Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[2]

Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[3]

Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[4]

Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.[5]

Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[6]

Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.

Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash  dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.[7]

Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.[8]

Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.

Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.

Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut  tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.

Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[9]

Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.

[1] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar., op. cit.
[2] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1, hal. 465.
[3] Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[4] Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal. 892-893.
[5] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, loc. cit.
[6] Ibid. hal. 889, 893, dan 899.
[7] Lihat, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[8] Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[9] Lihat, “Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Mar’ah Perspektif Perempuan” dalam http://www.fatayat.or.id.

Lihat Juga :

Keyword :
pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah pendapat syadud dariah, pendapat syadud dariah, pendapat ulama syadud dariah, syadud dariah, syadud dariah, kehujjahan sadd dzari'ah saddu dzari'ah pdf tanya jawab saddu dzari'ah macam macam sadd dzari'ah contoh saddu dzari'ah dalam ekonomi islam contoh sadd adz-dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari ppt saddu dzari'ah pengertian dzari'ah

No comments:

Post a Comment